Sabtu, 07 Juni 2008

Pengalokasian Zakat untuk Pendidikan, Kenapa Tidak?

Pengalokasian Zakat untuk Pendidikan, Kenapa Tidak?
Oleh : Putra.Tatiratu
KabarIndonesia - Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima'iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan sangat menentukan (Yusuf Qardhawi, 1993), baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan ekonomi umat. Zakat merupakan salah satu bentuk ibadah pokok kepada Allah SWT. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun Islam yang lima, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma'lum min ad-dien bi adh-dharurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.



Seorang muslim yang ikhlas menunaikan zakat adalah semata-mata didorong oleh keimanannya dengan melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. Hal tersebut sama halnya dengan keimanan mereka dalam menunaikan perintah wajib shalat, puasa, dan haji. Ia tidak menganggap bahwa harta yang ia serahkan kepada para fuqara dan masakin sebagai harta lebihan, harta sampingan, dan lain sebagainya. Namun, hal tersebut di dorong oleh kewajiban yang Allah SWT tetapkan atas dirinya pada hartanya. Karena itulah, zakat ibarat proyek latihan bagi seorang muslim dalam menjalankan perintah Allah SWT. Disebutkan dalam Qur’an Suci surat Adz-Dzariyat ayat 19, "Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tak mendapat bagian (tidak meminta)."

Sejenak, mari kita lihat negeri kita. Negara kaya raya yang laksana zamrud katulistiwa dengan perairan luas yang konon bukan lautan tapi merupakan kolam susu dengan tanah yang maha subur hingga tongkat dan batu jadi tanaman ini telah berusia enam puluh dua tahun dengan enam kali ganti pimpinan. Setengah abad lebih usianya, yakni selama 32 tahun pernah digawangi oleh sebuah keluarga besar: Keluraga Cendana. Suatu kali pernah dipimpin bapak dan anak seperti sebuah dinasti. Lalu pada kesempatan lain pernah juga dipimpin oleh ilmuwan jenius alang kepalang, dan pada kali lainnya pernah dipimpin oleh seorang kiai. Beda orang dan kepribadian, beda pula gaya kepemimpinan dan kebijakannya.

Namun, dari pengalaman dipimpin oleh bermacam-macam tipe pemimpin, tetap saja menyisakan sebuah titik persamaan realita : anggaran pendidikan sebesar 20 persen yang merupakan amanah Undang-Undang Dasar 1945 belum juga terwujud. Lihatlah pendidikan kita, banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya karena alasan tak bisa membayar SPP ataupun karena mahalnya harga buku, siswa gantung diri karena tidak mampu membayar, dan masih banyak lagi kasus siswa terancam putus sekolah karena biaya pendidikan mahal. Padahal pendidikan adalah investasi masa depan untuk melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pernyataan yang sering terdengar, kemajuan suatu bangsa di segala aspek kehidupan berbanding lurus dengan kualitas pendidikan bangsa. Nah, salahkah bila sebagian zakat diberikan kepada para fuqara dan masakin demi menunjang pendidikan? Meskipun hampir seluruh BAZ dan LAZ di Indonesia memiliki program peduli pendidikan dengan memberikan bantuan biaya pendidikan kepada siswa-siswa yang berasal dari kalangan tidak mampu dari pendidikan dasar hingga jenjang perguruan tinggi, namun pengalokasian dana zakat pada sektor pendidikan oleh lembaga pengelola zakat masih memiliki persentase lebih kecil jika dibandingkan dengan alokasi untuk pemberdayaan ekonomi berupa pemberian modal. Tentu saja dengan melihat anggaran 20 persen yang belum terwujud, para pengelola zakat dituntut untuk lebih kreatif, amanah, dan professional. Dan, tentu saja hal ini sangat membantu masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan. Dengan memfasilitasi warga negara yang beragama Islam dalam menunaikan zakat, pemerintah tak hanya memberi kebebasan kepada warga negara dalam menjalankan agama dan kepercayaan sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat (1) dan (2), namun secara langsung pemerintah telah mempercepat cita-cita bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Dalam bahasa yang mudah dipahami, masalah zakat bukan lagi melulu masalah umat Islam, tetapi telah menjadi masalah bersama bangsa Indonesia. Peran pemerintah dan masyarakat secara simultan merupakan akselerasi bagi perwujudan amanah para pendiri bangsa bahwa pendidikan adalah hak dasar warga negara. Inilah salah satu bagian dari istimewanya ajaran islam. Keselarasannya dengan fitrah manusia, agama Islam memberi perhatian secara seimbang terhadap unsur materi dan unsur ruhani. Artinya, kedua unsur tersebut dalam kehidupan manusia berhak memperoleh peran yang sama, tanpa ada salah satu unsur yang melebihi atau mengurangi peran unsur lain. Kita dapat melihat sisi keistimewaan tersebut, misalnya pada perintah wajib zakat. Perintah zakat, disamping mengandung dimensi materi, juga dimensi ruhani. Bila zakat diterapkan secara benar dan menyeluruh, ia memiliki peran yang sangat esensial yang selanjutnya akan merealisasikan keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa melalui zakat pendidikan, dan juga melahirkan pertumbuhan ekonomi yang sehat dan pesat. Alih-alih menunggu tanpa kepastian anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan dari pemerintah, masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh lembaga pengelola zakat tentu telah bisa menjawab ketidakpastian tersebut. (*)