Sabtu, 07 Juni 2008

Hardiknas dan Mitos Matinya Pendidikan

Hardiknas dan Mitos Matinya Pendidikan
Oleh : Putra.Tatiratu
KabarIndonesia - Ujian Nasional tahun pemelajaran 2007/2008 tingkat SMA/MA/SMK dan yang sederajat telah dilaksanakan serentak pada tanggal 22-24 April 2008 kemarin. Berbagai kecurangan selama pelaksanaan kembali ditemukan, mulai dari dugaan bocornya kunci jawaban yang beredar melalui pesan singkat (short message service/SMS), pelanggaran POS UN oleh panitia, hingga kecurangan yang dilakukan oknum kepala sekolah dan guru yang dengan sengaja memperbaiki jawaban peserta, sebelum LJK disetor ke dinas pendidikan.



Temuan kecurangan ini merupakan aib sekaligus dosa dunia pendidikan di Indonesia yang selalu terulang. Dosa yang sebenarnya tidak perlu terjadi tatkala seluruh stokholder pendidikan memahami hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Ironisnya, berbagai bentuk kecurangan ini justru kembali ditemukan di saat Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang dipercaya sebagai lembaga penjamin mutu pendidikan tengah gencar dan serius memerangi kecurangan pelaksanaan UN. Upaya BSNP yang mengetatkan pengawasan dengan melibatkan tim pemantau independen ternyata tak berpengaruh. Pertahanan (baca: pengawasan) berlapis yang diupayakan ternyata dapat dijebol. Tentu saja kita tidak bisa menuduh atau menjatuhkan seluruh kesalahan ini pada BSNP.

Mengingat lembaga baru ini ternyata juga mendapatkan hambatan di lapangan. Bukan hanya dalam masalah SDM yang sangat minim, jauh berat dari itu BSNP harus menghadapi gurita raksasa yang bernama kompromi untuk melakukan dosa berjamaah yang dilakukan oknum guru, penyelenggara pendididikan dan peserta didik. Dalam hemat saya, bentuk kompromi semacam ini tidak saja melahirkan aib dan dosa besar dunia pendidikan, namun lebih dari itu kompromi ini dengan sendirinya membunuh (mematikan) hakekat pendidikan.

Jika dibiarkan kompromi ini akan jadi bahaya laten yang terus mengancam kredibilitas pendidikan kita. Gilirannya kemudian mengancam kredibilitas bangsa Indonesia di mata dunia. Bukankah saat ini pendidikan di Indonesia masih berada pada rangking bawah, bahkan diantara negera-negera anggota Asean. Laporan UNESCO, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi pendidikan yang dirilis November 2007 menyebutkan bahwa, peringkat pendidikan di Indonesia turun dari 58 menjadi 62 dari 130 negara di dunia. Dilaporkan, indeks pembangunan pendidikan atau Education development index (EDI) Indonesia adalah 0,935, di bawah Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965). Dalam versi yang berbeda disebutkan bahwa bahwa kualitas pendidikan kita berada di urutan ke-129 dunia.
Mitos Bangsa Indonesia terlanjur menetapkan tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional (hardiknas) yang selalu diperingati sebagai tanggal (momentum) titik tumpu kebangkitan dunia pendidikan di Indonesia. Tanggal 2 Mei merupakan moment bersejarah bagi dunia pendidikan di Indonesia, sebab pada tanggal yang sama (2 Mei 1889) di Yogyakarta lahir intelektual muda pendiri perguruan (sekolah) Taman Siswa yaitu Ki Hajar Dewantara. Nama aslinya penggagaas landasan filosofi pendidikan nasional ini adalah adalah Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Tiga pilar kokoh dan landasan filosofi pendidikan yang ia cetuskan yaitu; Ing Ngarso Sun Thulodho, Ing Madyo Mangun karsa, dan Tut wuri Handayani. Ki Hajar Dewantara meninggal di Yogyakarta, pada 28 April 1959.

Selain diperingati dengan acara seremonial seperti upacara bendera, momentum Hardiknas juga diisi dengan kegiatan diskusi serta refleksi dunia pendidikan kita. Beragam hujatan baik dalam bentuk diskursus maupun liputan khusus dan berita tentang terpuruknya dunia pendidikan selalu menghiasi halaman media cetak. Saya yakin ini bukan kebetulan, lantara pada kenyataanya dunia pendidikan kita memang terpuruk. Yang menarik adalah tatkala momentum Hardiknas di Indonesia dikatikan dengan momentum meninggalnya seorang filosofis pendidikan terkemuka dunia, Paulo Freire (1912-1997). Filosof pendidikan yang terkenal dengan konsep pendidikan pembebasan ini meninggal dunia pada 2 Mei 1997, atau bertepatan dengan momen Hardiknas di Indonesia.

Dalam hemat saya, ini menjadi menarik lantaran dua momen berbeda tersebut, jika kita hubungkan seperti memiliki pertalian erat. Tanggal 2 Mei selalu kita peringati sebagai Hardiknas yaitu moment kebangkitan dunia pendidikan di Indonesia, di sisi lain tanggal yang sama juga selalu dikenang sebagai hari meninggalnya filosof revolusioner tersebut.

Dalam konteks dunia pendidikan kita, meski angka tahun dua peristiwa besar itu terpaut sangat jauh (hampir setengah abad lebih), namun realitas pendidikan di Indonesia yang selalu direfleksikan tiap peringatan Hardiknas, justru melahirkan mitos. Relasi Hardiknas dengan meninggalnya Paulo Freire menciptakan mitos, seolah meninggalnya filosof besar tersebut mencitrakan kematian dunai pendidikan kita. Benar atau tidaknya mitos ini sangat tergantung pada bagaimana cara pandang kita atas relasi antara kebenaran (realitas) yang terjadi saat ini dengan cerita atau anggapan yang kita pikirkan.

Lantaran menurut Umar Yunus (1981) Mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan. Sehingga ia kerap dijumpai dalam masyarakat, setidaknya mitos selalu hidup dalam gosip, dan boleh jadi (akan) dibuktikan dalam kenyataan. Benar ungkapan dan anggapan Yunus, bahwa kita hidup dalam mitos, yang selalu berubah dari satu mitos ke mitos yang lain. Paulo Freire Pertanyaannya adalah, kenapa harus Paulo Freire yang menggagas konsep pendidikan pembebasan?

Dari konsep-konsep pendidikan yang dituangkan dalam bukunya, Freire terbukti konsisten dengan gagasan pendidikan pembebasan. Dengan tegas ia mengatakan bahwa pendidikan harus membebaskan, dan tidak memaksakan. Arah politik pendidikan yang sangat kentara berpihak pada kaun tertindas inilah yang mendasari anggapan bahwa konsep pendidikan Freire cocok diterapkan di Indonesia. Meski konsep pendidikannya sangat jelas dan matang, namun Freire justru mengakui bahwa konsep pendidikan yang ia gagas merupakan akumulasi dari pendahulunya yaitu; Satre, Che Guevara, Althusser, Ortega Y Gasset, Martin Luther King Jr, Eric Fromm dan lain-lain. (lihat: Pendidikan Popular - Membangun Kesadaran Kritis, terbitan Read Book dan Insist, 2001)

Dalam pandangan Freire, yang dimaksud kau tertindas tidak hanya terbatas pada penindasan kekuasaan melainkan juga penindasan yang lain seperti penidasan oleh rezim otoriter, penidasan oleh struktur sosial yang diskriminatif, dan sebagainya. Mereka yang tertindas adalah mereka mengalami keterasingan (alienasi) diri dan lingkungan, sehingga tidak mampu memegang peran sebagai subyek yang independen (otonom). Orang dalam penindasan seperti ini hanya mampu menjadi epigon (pengekor) atas diri orang lain. Kemudian mereka juga merasa bodoh, tak mengetahui apa-apa dan pada gilirannya akan mengalami self depreciation. Dua karakter inilah yang menjadi parameter bahwa orang berada dalam kondisi tertindas.

Pendidikan pada hakekatnya menurut Freire, adalah upaya memanusiakan manusia (humanisasi). Sedangkan proses pendidikan kita masih jauh dari konsep Freire, pendidikan kita tak lebih merupakan proses dehumanisasi. Pandangan Freire ini telah banyak dibahas dalam berbagai diskursus tentang pendidikan, juga dalam konteks Indonesia. Kembali pada konteks pelanggaran pelaksanaan UN. Saya melihat bahwa ketentuan nilai standar kelulusan UN Tahun 2008, yang dinaikkan dari 4,5 menjadi 5,0 dengan nilai rata-rata syarat kelulusan tidak boleh kurang dari 4,25 secara tidak langsung telah menimbulkan penindasan pada peserta.

Namun demikian bukan berarti saya tidak setuju dengan peningkatan kualitas pendidikan. Permasalahannya kemudian adalah, bahwa pemerintah telah melahirkan penindasan dengan kebijaksan mentargetkan jumlah lulusan yang harus dicapai mnecapai 90 prosen, Sekalipun pernyataan Wapres ini sempat diralat, namun penindasan terlanjur terjadi dan ini sangat dirasakan.

Tengoklah berbagai kasus pelanggaran pelaksanaan UN yang ditemukan kemarin, seluruhnya terjadi karena pihak sekolah tidak ingin dianggap gagal dalam mendidik siswanya, guru tidak siap menanggung kenyataan jika ada siswanya yang gagal UN. Dan siswa juga tidak kesatria untuk mengakui bahwa ia tidak memliki kemampuan atau kompetensi, akibat selama ini tidak pernah serius dalam mengikuti proses belajar mengajar.

Mereka lebih sibuk bermain dengan khayalan yang saban hari disajikan melalui tayangan sinetron di televisi. Alih-alih tercipta manusia yang menganut ideologi serba instant. Pun demikian dalam meraih kelulusan, mereka ingin menempuh jalan instan dengan mencontek atau mencari bocoran kunci jawaban. *) Teguh Trianton, Penyair dan Guru SMK Widya Manggala Purbalingga.